Refleksi Pelaksanaan Pembelajaran dengan Googleclassroom
Triani Prihatiningsih
SMK Negeri 1 Tengaran
Jalan Darun Na’im Karangduren, Tengaran Kabupaten Semarang 50775
Telepon (0298)3405144 Faks (0298)3405166 Email [email protected]
Abstrak: Artikel ini berisi tentang perbandingan pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan googleclassroom saja dengan perpaduan googleclassroom dengan googlemeet. Dalam artikel ini semula penulis hanya menggunakan aplikasi googleclassroom, akan tetapi aplikasi ini tidak dapat memenuhi kriteria belajar generasi Z dan seakan-akan guru tidak hadir dalam pembelajaran tersebut.
Kata kunci: kata kunci dalam artikel ini 1 Refleksi, 2 Pembelajaran dan 3 Googleclassroom
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi membawa perubahan yang sangat besar dalam setiap lini kehidupan masyarakat kita, baik secara budaya, sosial-ekonomi, politik, keamanan termasuk pendidikan. Berawal dari perubahan pola komunikasi dan interaksi dalam masyarakat, membawa perubahan pada cara berpikir, bersikap dan berperilaku setiap individu yang menjadi anggota dari masyarakat tersebut. Karena setiap pengalaman yang diperoleh pada setiap era atau zaman akan menentukan bagaimana bentuk perilaku fungsi otak manusia. Teori generasi yang dikemukan oleh sosiolog Karl Mannheim tahun 1923 menjelaskan hubungan perubahan sosial dan pengaruhnya terhadap karakter individu yang hidup di era tertentu (Cilliers, 2017)
Berdasarkan teori itu, para sosiolog yang berkiblat kepada Amerika membagi masyarakat menjadi sejumlah generasi diantaranya; kaum tradisionalis (generasi era depresi, generasi perang dunia II, generasi pasca-PD II), generasi Baby Boomer I, Generasi X, Generasi Y alias Milenial, dan Generasi Z. Karakteristik terkait ini didasarkan pada kondisi ekonomi, norma dan adat istiadat budaya, kemajuan teknologi, dan peristiwa dunia, semuanya membantu membentuk pemikiran dan pandangan masing-masing generasi (Chun dkk., 2016).
Generasi Z memiliki karaterisitik yang berbeda dengan generasi sebelumnya, dalam perilaku belajar dan bagaimana mereka merespons setiap instruksi pembelajaran yang diberikan di kelas. Menurut mereka generasi Z (Gen Zers) bukan hanya pembelajar yang berbeda, tetapi mereka juga memiliki nilai dan tujuan yang berbeda. Kemajuan teknologi digital juga memberikan masalah pada siswa generasi Z, sesuai dengan karakter pada era teknologi digital, semua serba cepat dan instan, individu yang hidup di era ini juga dimanjakan dengan semua fasilitas yang diberikan oleh teknologi digital, sehingga siswa Z juga terkesan manja memiliki minat yang rendah untuk belajar di sekolah khususnya di kelas yang masih mengunakan pendekatan tradisional dalam pembelajaran. Siswa lebih sibuk dan asik bermain game, membaca dari tablet/gajet miliknya, dan sulit untuk fokus pada papan tulis serta ceramah guru di depan kelas (Duse & Duse, 2016).
Dalam proses pembelajaran guru sebagai tenaga berpendidikan memiliki tugas menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar, membimbing, melatih, mengolah, meneliti dan mengembangkan serta memberikan pelajaran teknik karena setiap guru harus memiliki kewenangan dan kemampuan profesional, kepribadian, dan kemasyarakatan. Sekolah bukan sekedar tempat untuk berlangsungnya proses transfer ilmu tetapi juga merupakan wadah bagi guru untuk membangun kepribadian peserta didiknya. Sekolah memfasilitasi dan memberikan kemudahan bagi siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam mencapai kualitas manusiaannya, baik secara fisik, psikologi sosial dan emosional. Proses belajar-mengajar di sekolah memposisikan siswa sebagai subjek proaktif yang ingin meraih cita-cita, memiliki tujuan, dan kemudian ingin mencapainya secara optimal. Belajar adalah suatu usaha yang dilakukan individu untuk memperoleh perubahan tingkah laku secara keseluruhan, relatif permanen sebagai hasil pengalaman individu dalam interaksi dengan lingkungannya (Israeloff, 2012).
Kualitas pembelajaran dapat dimaknai dengan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran. Pencapaian tujuan tersebut berupa peningkatan pengetahuan dan keterampilan serta pengembangan sikap melalui proses pembelajaran. Ada banyak aspek yang memepengaruhi kualitas pembelajaran, salah satunya adalah kemandirian belajar. Kemandirian belajar adalah aktivitas kesadaran siswa untuk mau belajar tanpa paksaan dari lingkungan sekitar dalam rangka mewujudkan pertanggungjawaban sebagai seorang pelajar dalam menghadapi kesulitan belajar. Kemandirian belajar siswa dalam konsep psikologi pendidikan disebut dengan self regulated learning.
Berdasarkan karateristik tersebut pendidik kita sudah tidak bisa lagi menerapkan gaya pendidikan generasi kemarin kepada siswa generasi masa depan. Para siswa telah berubah secara drastis dan karenanya, kita harus menemukan cara baru untuk mengajar yang sesuai untuk generasi Z. Pembelajaran harus mempertimbangkan cara-cara terbaru dalam mengembangkan kemampuan berpikir dan memproses informasi siswa generasi digital. Sesuai dengan karakternya siswa generasi Z lebih menyukai gaya belajar mengunakan pendekatan eksperimen (learning by doing), mengunakan media pembelajaran yang berupa audio visual (visual learning), senang bekerja dalam tim dengan rekan, menggunakan alat kolaboratif seperti Google Apps, sulit untuk konsentrasi atau fokus pada satu kegiatan dalam waktu yang lama. Mereka lebih senang belajar dengan santai dan enjoy pembelajaran yang menyenangkan dan menghibur.
Pembelajaran abad 21 sesuai untuk diterapkan dalam mengajar generasi Z. Adapun unsur-unsur pembelajaran abad 21 antara lain (1) Adanya kolaborasi antara guru dan peserta didik, artinya dalam sebuah pembelajaran tidak boleh hanya berpusat kepada guru sedangkan peserta didik hanya bersifat pasif. Sebaliknya meski berpusat pada peserta didik namun guru tetatp membimbing meotivasi mefasilitasi selama pembelajaran, (2) Berorientasi pada High Order Thingking Skill (HOTS), artinya seorang guru tidak berpuas diri Ketika peserta didik sudah mencapai titik minimum melaikan harus lebih tinggi lagi guna mencapai kompetensi maksimum dalam sebuah pembelajaran, (3) Literasi, tanpa literasi pembelajaran yang dilaksanakan akan terasa membosankan dan monoton. Dan itu yang dibutuhan untuk mencapai karakteristik pembelajaran abad 21, (4) Penguatan Pendidikan Karakter (PPK) yang terdiri dari religious, nasionalisme, integritas, mandiri, dan gotong royong, (5) TPACK (Technologi Pedagogical and Content Knowledge), seorang guru selain melaksankan kompetensi pedagogil juga harus menerapkan teknologi sebagai bekal peserta didik menyambut era revolusi industry 4.0 dimana semua pekerjaan yang dilakukan manusia mulai bergeser kepada teknologi digital, (6) Pembelajaran Inovatif, salah satu satu alternatif dalam pembelajaran inovatif yang sedang trending adalah dengan menerapkan pembelajaran masalah atau Problem Based Learning.
Pada pelaksanaan pembelajaran di tahun ajaran 2019-2020 ini penulis berfokus pada peningkatan kemampuan peserta didik di kelas X dengan menggunakan model pendekatan TPACK. TPACK (Technological Pedagogical Content Knowledge) merupakan kerangka kerja guru dalam mengintegrasikan TIK dalam pembelajaran. Pembelajaran di tahun ajaran 2019-2020 menggunakan pembelajaran googleclassroom sebagai media pembelajarannya.
Pembahasan
Pendekatan TPACK merupakan hal yang baru bagi guru karena belum pernah menerapkan pendekatan tersebut dalam pembelajaran sebelumnya. Pendekatan TPACK menekankan pada penggunaan teknologi pada pembelajaran. Dalam pembelajaran TPACK memungkinkan pemberian stimulus kepada peserta didik untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis melalui pemecahan masalah atau membuat keputusan. Guru menerapkan sintak dalam pendekatan TPACK yaitu observasi, menanya, eksperimen, pengolahan informasi, kemudian mengkomunikasikan yang penulis bagi pada kegiatan awal, kegiatan inti dan kegiatan penutup.
Pada saat pandemi Covid-19 memunculkan kreativitas dan inovasi bagi guru dan peserta didik. Pembelajaran dengan novasi-inovasi sesuai dengan kompetensi dan sarana yang dilakukan diterapkan agar dapat dijalani dalam kondisi keterbatasan sarana dan media.
Melihat kondisi yang demikian, penting bagi guru untuk mengevaluasi dan meningkatkan pada proses pembelajaran selanjutnya suapaya lebih efektif dan efisien. Pada awalnya guru di SMK Negeri 1 Tengaran hanya menggunakan google classroom untuk menyampaikan materi dan tugas tertulis saja. Peserta didik lebih terintegrasi dalam pengerjaan tugas individu. Sulitnya untuk mengontrol siswa yang serius dengan yang tidak serius, pembelajaran yang bersifat teoritis dan minim praktik dan banyaknya distraksi yang dapat mengganggu kontentrasi saat belajar masih menjadi kendala dalam pelaksanaan pembelajaran hanya dengan aplikasi googleclassroom saja.
Oleh sebab itu guru harus menggunakan tambahan aplikasi goolemeet sebagai model pembelajaran blended learning yang mengkombinasikan pembelajaran daring dengan pembelajaran konvensional (tatap muka), belajar mandiri. Guru dan orangtua memiliki peran yang sama penting, guru berperan sebagai fasilitator dan orangtua berperan sebagai pendukung.
Hal yang perlu diperbaiki untuk pembelajaran selanjutnya adalah mendalami penggunaan model pembelajaran dan aplikasi-aplikasi digital yang ada untuk pembelajaran daring agar proses belajar mengajar secara daring lebih menarik dn mampu memotivasi peserta didik.
Simpulan
Perkembangan teknologi dan akses informasi yang begitu cepat di era digital ini memungkinkan peserta didik lebih dahulu mendapatkan informasi terlebih dahulu para gurunya. Tentu hal ini tidak akan membuat guru menjadi ketinggalan dibanding siswanya. Namun demikian, teknologi informasi dan komunikasi, media sosial ataupun media lainnya yang ada di dunia maya hanyalah instrument pendidikan dan bukan tujuan.
Media atau pun instrument tidak dapat mengantikan peran guru dalam proses pembelajaran sebab media tidak mempunyai sisi kemanusiaan, oleh sebab itu kehadiran guru secara emosional sangat penting untuk menumbuh kembangkan sisi kemanusiaan seorang siswa dan mengendalikan gejala impulsif karakter yang ada dalam diri siswa generasi Z yang di pengaruhi oleh lingkungan digital nativenya sehingga merugikan peserta didik itu sendiri
Googlemeet merupakan salah satu media yang dapat menggabungkan dengan cara belajar generasi Z, namun guru dan orangtua tetap hadir dalam pembelajaran tersebut. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan guru juga harus meningkatkan model pembelajaran yang lain dan menggunakan media atau aplikasi pembelajaran yang lain dalam meningkatkan kualitas pembelajaran abad 21.